Akibat
tumpang tindihnya berbagai kebijakan sektoral yang terkait perencanaan ruang,
konflik ruang di berbagai daerah berpotensi untuk tercipta. Indonesia dalam
beberapa tahun ke depan bisa masuk ke dalam perangkap negeri tanpa perencanaan
tata ruang.
Saat ini, sudah ada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
UU No 27 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pesisir, UU 25 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No 12 2008 (Perubahan kedua atas UU No 32
Tahun 2004), dan berbagai kebijakan sektoral lainnya yang terkait dengan ruang.
Dampaknya di lapangan, terjadi konflik perencanaan dan
pemanfaatan ruang di berbagai daerah banyak terjadi karena tumpang tindihnya
kebijakan tersebut, baik secara substansi maupun kelembagaan.
Contoh kasus yang terjadi adalah pada perencanaan kawasan
pesisir terjadi tumpang tindih, irisan area yang menjadi subyek dari rencana
tata ruang wilayah, dan rencana pengelolaan kawasan pesisir. Konflik ini senada
dengan konflik tata ruang mengenai hutan di berbagai daerah.
Akibatnya, sampai sekarang ternyata penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota menjadi peraturan
daerah (Perda) sangat lambat.
Menurut catatan Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan
Umum, baru 51 persen provinsi yang sudah memiliki Perda RTRW, 62,6 persen
kabupaten yang telah memiliki Perda RTRW dan 72 persen kota yang telah memiliki
Perda RTRW. Kondisi ini amat mengkhawatirkan karena bisa dipastikan, tidak ada
kepastian hukum dan ini jelas-jelas menghambat investasi.
Oleh karena itu, pemerintah dan Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKPRN) perlu segera mencari solusi konkret agar Indonesia terhindar
dari kondisi berjalan tanpa rencana tata ruang yang jelas.
Beberapa tindakan mendesak itu antara lain yakni mempercepat
terbitnya dokumen peraturan perundangan sebagai bentuk operasionalisasi Inpres
No 8/2013 tentang percepatan penyelesaian dan penyusunan perda RTRW.
Masalah tata ruang sendiri sebenarnya adalah problema klasik di
Indonesia. Indonesia saat ini dapat dikatakan dalam keadaan darurat tata ruang
sehingga berdampak kepada beragam hal seperti pemenuhan jumlah perumahan yang
dibutuhkan.
Kondisi darurat tata ruang itu perlu diperhatikan karena hal
tersebut dinilai merupakan basis dari semua pembangunan termasuk sektor
properti atau perumahan. Pemerintah saat ini tidak pernah bisa menyediakan
lahan yang dibutuhkan guna membangun berbagai basis perumahan seperti rumah
susun khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Saat ini jenis perumahan yang paling pas untuk dibangun adalah
rumah susun di tengah kota yang mampu mendekatkan kaum pekerja dengan tempat
kerja.
Selain itu, kedekatan antara rumah seseorang dengan tempat kerja
mereka juga dinilai dapat menghemat BBM yang digunakan karena kedekatan antara
kedua lokasi tersebut.
Masalah lain yang timbul akibat kesalahan dalam hal tata ruang
adalah munculnya musibah seperti banjir. Contohnya, dalam perencanaan pada
zaman penjajahan Belanda, Jakarta memiliki sekitar 300 waduk. Namun kini waduk
yang tersisa tinggal 30.
Selain itu, hutan bakau serta ruang terbuka hijau yang dulu
banyak dimiliki Jakarta kini sudah beralih menjadi perumahan, pusat
perbelanjaan, hingga properti lainnya.
http://beritadaerah.co.id/2013/11/07/infrastruktur-indonesia-dihadapkan-masalah-tata-ruang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar