Situasi dan kondisi masyarakat kita dewasa ini
menghadapkan kita pada suatu keprihatinan dan sekaligus juga mengundang kita
untuk ikut bertanggung jawab atas mosaik Indonesia yang retak bukan sebagai
ukiran melainkan membelah dan meretas jahitan busana tanah air, tercabik-cabik
dalam kerusakan yang menghilangkan keindahannya. Untaian kata-kata dalam
pengantar sebagaimana tersebut merupakan
tamsilan bahwasannya Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal sebagai “het zachste volk ter aarde” dalam
pergaulan antar bangsa, kini sedang mengalami tidak saja krisis identitas
melainkan juga krisis dalam berbagai dimensi kehidupan yang melahirkan
instabilitas yang berkepanjangan semenjak reformasi digulirkan pada tahun 1998.
(Koento W, 2005)
Kata identitas
berasal dari bahasa Inggris Identity yang
memiliki pengertian harafiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat
pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam term
antropologi identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan
kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas
sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak
terbatas pada individu semata tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Sedangkan kata nasional merupakan
identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non
fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Himpunan kelompok-kelompok
inilah yang kemudian disebut dengan istilah identitas bangsa atau identitas
nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (colective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari
kemunculan konsep nasionalisme.
Unsur-Unsur Identitas Nasional
Identitas
Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu
merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas yaitu suku bangsa, agama,
kebudayaan dan bahasa.
1) Suku Bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat
askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis
kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis
dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
2)
Agama: bangsa
Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan
berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan
Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama
resmi negara namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama
resmi negara dihapuskan.
3) Kebudayaan, adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara
kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami
lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk
bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan
yang dihadapi.
4)
Bahasa: merupakan
unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem
perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia
dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari
unsur-unsur Identitas Nasional tersebut
diatas dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
1). Identitas
Fundamental; yaitu Pancasila
yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara.
2)
Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang
Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
3)
Identitas Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan
pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan agama serta kepercayaan (agama).
Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas
Nasional
a. Globalisasi
Adanya Era Globalisasi dapat berpengaruh terhadap
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Era Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka atau tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang
telah ada. Nilai-nilai tersebut baik yang bersifat positif maupun yang bersifat
negatif. Ini semua merupakan ancaman,
tantangan dan sekaligus sebagai
peluang bagi bangsa Indonesia
untuk berkreasi, dan berinovasi di segala aspek kehidupan.
Di Era
Globalisasi pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antar negara
hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi penghalang.
Di dalam pergaulan antar bangsa yang semakin kental itu akan terjadi proses
alkulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi antara budaya masing-masing.
Yang perlu kita cermati dari proses akulturasi
tersebut apakah dapat melunturkan
tata nilai yang merupakan jati diri bangsa Indoensia. Lunturnya tata nilai
tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor yaitu :
1) Semakin menonjolnya sikap individualistis
yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum, hal ini
bertentangan dengan azas gotong-royong.
2) Semakin menonjolnya sikap materialistis
yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil atau
keberhasilan seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat
bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal ini
terjadi berarti etika dan moral telah dikesampingkan.
b. Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas
Nasional.
Dengan adanya
globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu negara dengan negara
yang lain menjadi semakin tinggi. Dengan demikian kecenderungan munculnya
kejahatan yang bersifat transnasional menjadi semakin sering terjadi.
Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait dengan masalah narkotika,
pencucian uang (money laundering), peredaran dokumen keimigrasian palsu dan
terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya
bangsa yang selama ini dijunjung tinggi mulai memudar. Hal ini ditunjukkan
dengan semakin merajalelanya peredaran narkotika dan psikotropika sehingga
sangat merusak kepribadian dan moral bangsa khususnya bagi generasi penerus
bangsa. Jika hal tersebut tidak dapat dibendung maka akan mengganggu terhadap
ketahanan nasional di segala aspek kehidupan bahkan akan menyebabkan lunturnya
nilai-nilai identitas nasional.
Proses Berbangsa dan Bernegara
a. Paham Nasionalisme Kebangsaan
Dalam
perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah menjadi bentuk
yang lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya kesadaran untuk
menentukan nasib sendiri. Di kalangan bangsa-bangsa yang tertindas kolonialisme
dunia, seperti Indonesia salah satunya, hingga melahirkan semangat untuk
mandiri dan bebas untuk menentukan masa depannya sendiri. Dalam situasi
perjuangan perebutan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar
pembenaran rasional dari tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat
mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran
tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang
biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep
turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan keduanya yang
menjadi konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai komponen-komponen yang
membentuk Identitas Nasional atau
Kebangsaan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa Paham Nasionalisme atau Paham
Kebangsaan adalah sebuah situasi
kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada
negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat
efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman
kolonial. Semangat nasionalisme diharapkan secara efektif oleh para penganutnya
dan dipakai sebagai metode perlawanan dan alat identifikasi untuk mengetahui
siapa lawan dan kawan.
b.
Paham Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang
mengantarkan pada konsep Identitas
Nasional
Paham
Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti sangat efektif sebagai alat
perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Semangat
nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai
sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan oleh Larry Diamond dan Marc F
Plattner, para penganut nasionalisme dunia ketiga secara khas menggunakan
retorika anti kolonialisme dan anti imperalisme. Para pengikut nasionalisme
tersebut berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan
dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah
wadah yang disebut bangsa (nation).
Dengan demikian bangsa atau nation merupakan
suatu badan wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai
persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti ras, etnis,
agama, bahasa, dan budaya. Unsur persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai
identitas politik bersama atau untuk menentukan tujuan organisasi politik yang
dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri atas populasi, geografis dan
pemerintahan yang permanen yang disebut negara atau state.
Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam
rangka pemberdayaan Identitas Nasional kita, perlu ditempuh melalui
revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifesatsi Identitas Nasional
mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhannya dengan
Pembukaan, dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yang meliputi:
v Realitas: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat kampus utamanya, suatu rangkaian nilai-nilai yang
bersifat sein im sollen dan das
sollen im sein.
v Idealitas: dalam arti bahwa idealisme yang
terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan di
objektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme
para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari
esok yang lebih baik, melalui seminar atau gerakan dengan tema “Revitalisasi
Pancasila”.
v Fleksibilitas: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah
barang jadi yang sudah selesai dan “tertutup”menjadi sesuatu yang sakral,
melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan jaman yang
terus-menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya
Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang
penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka
Tunggal Ika”, sebagaimana dikembangkan di Pusat Studi Pancasila (di UGM),
Laboratorium Pancasila (di Universitas Negeri Malang).