Kamis, 04 Februari 2016

Kegagalan Konstruksi: Runtuhnya Jembatan Penghubung Gedung Perpustakan Daerah DKI

Bangunan jembatan ini menghubungkan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Keruntuhan jembatan terjadi pada tanggal 3 November 2014.

Jembatan Penghubung yang runtuh

Keruntuhan terjadi dikarenakan sistem perancah yang mengalami kegagalan. Scafolding yang digunakan merupakan scafolding besi dengan kondisi yang sudah tidak layak pakai:
  • Kondisi scafolding banyak yang sudah keropos dan ada beberapa yang berlubang.
  • Pemasangan scafolding tidak dilengkapi dengan bracing, sehingga scaffolding menjadi tidak stabil.
  • Adanya perlemahan scafolding yang tidak dihitung seperti adanya jalan akses untuk kendaraan dibawah struktur yang sedang dibangun.

Scafolding bengkok

Untuk masalah diatas sangat berhubungan dengan apa yang ada pada UU RI No. 29  tahun 2000, mengenai kegagalan konstruksi. Berikut adalah penjabarannya:

Peraturan Pemerintah RI No.29 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pada bagian kelima memuat tentang Kegagalan Pekerjaan konstruksi, bunyi pasal 31, 32, 33, dan 34, adalah;

Pada Pasal 31, Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.

Pada Pasal 32, ayat.1, Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat.2 Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat 3, Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi dan pelaksana konstruksi. Ayat 4, Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya sendiri.

Pada  Pasal 33, Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila pekerjaan konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap keselamatan umum.

Pada Pasal 34, Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan, atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan  atau Pengguna Jasa  setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi

Malpraktek Konstruksi: Robohnya Bangunan Tambahan di Pusat Grosir Metro Tanah Abang



Robohnya bangunan tambahan pada Metro Tanah Abang dalam masa pelaksanaan yang menyebabkan tidak berfungsinya bangunan tersebut dapat dinyatakan sebagai kegagalan bangunan. Menurut Bab I Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999 yang dimaksud dengan kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) menegaskan bahwa tanggungjawab pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan konstruksi bukan hanya dalam rentang waktu pelaksanaan, tetapi berlaku juga setelah serah terima akhir pekerjaan. Pada Pasal 25 ayat 2 UUJK menyatakan bahwa kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Penyedia jasa menurut Pasal 16 ayat 1 terdiri dari perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi.

Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada bab X tentang Sanksi, bunyi pasal 41, 42, dan 43, adalah;  Pasal 41, Peyelengara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.

Pada Pasal 42, ayat 1, Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa; peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 2, Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa; peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi, pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 3, Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pada Pasal 43, ayat 1, Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

Pada Ayat 2, Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak memenuhi ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.


Pada Ayat 3, Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksankan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.